Teori PSDM

Dalam kaitannya dengan penyerahan kewenangan sumber daya manusia, aspek pengembangan sumber daya manusia menjadi bagian penting dalam upaya mengelola sumber daya manusia secara keseluruhan. Pada hakekatnya pengembangan sumber daya manusia mempunyai dimensi luas yang bertujuan meningkatkan potensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia, sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dalam organisasi (Wayne dan Awad, 1981:29). Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat sumber daya lainnya atau setidak-tidaknya pengolahan dan pemakaian sumber daya organisasi dapat secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak bagi suatu organisasi dalam menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan (Siagian, 1996:182). Kondisi “conditio sine quanon” ini dapat dikategorikan sebagai bentuk investasi yaitu human investasi.
Meskipun program orientasi pengembangan ini memakan waktu dan dana, semua organisasi mempunyai keharusan untuk melaksanakannya, dan menyebut biaya-biaya untuk berbagai program tersebut sebagai investasi dalam sumber daya manusia. Ada dua tujuan utama dalam hal ini, pertama, pengembangan dilakukan untuk menutup “gap” antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan. Kedua, program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang ditetapkan. (Handoko, 1998: 103).
Pencapaian keselarasan tujuan tersebut tentunya harus ditempuh melalui suatu proses tahapan panjang yang dimulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan dan pemeliharaan potensi sumber daya manusia. Karena secara makro Pengembangan sumber daya manusia (human resourses development) merupakan suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia, yaitu mencakup perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya manusia (Notoatmodjo, 1998:2-3).
Dalam hal ini pengembangan sumber daya manusia mempunyai ruang lingkup lebih luas dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap dan sifat-sifat kepribadian, sehingga dapat memegang tanggungjawab dimasa yang akan datang (Handoko, 1998 : 104).
Pada sisi lain pengembangan sumber daya manusia tidak hanya sebatas menyangkut internal sumber daya manusia sendiri (yaitu antara lain pengetahuan, kemampuan, sikap, tanggung jawab) namun juga terkait dengan kondisi eksternal, seperti lingkungan organisasi dan masyarakat. Hal ini tercermin dari tuntutan pengembangan sumber daya manusia sendiri yang pada dasarnya timbul karena pertimbangan: (1) pengetahuan karyawan yang perlu pemutakhiran, (2) masyarakat selalu berkembang dinamis dengan mengalami pergeseran nilai-nilai tertentu, (3) persamaan hak memperoleh pekerjaan, (4) kemungkinan perpindahan pegawai yang merupakan kenyataan dalam kehidupan organisasional (Siagian, 1996:199).
Berbagai tuntutan tersebut secara bersamaan saling mempengaruhi pelaksanaan dan arah pengembangan sumber daya manusia, baik menyangkut internal manusianya maupun lingkungan eksternal. Pada bagian lain dalam skup organisasi, faktor yang mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia ini dapat dibagi kedalam faktor internal yaitu mencakup keseluruhan kehidupan yang dapat dikendalikan organisasi, meliputi : (1) misi dan tujuan organisasi, (2) strategi pencapaian tujuan, (3) sifat dan jenis pekerjaan dan (4) jenis teknologi yang digunakan. Serta faktor eksternal, yang meliputi : (1) kebijaksanaan pemerintah, (2) sosio budaya masyarakat, (3) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Notoatmodjo,1998 : 8-10).
Secara khusus dalam pengembangan sumber daya manusia yang menyangkut peningkatan segala potensi internal kemampuan diri manusia ini adalah didasarkan fakta bahwa seseorang karyawan akan membutuhkan serangkaian pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang berkembang untuk bekerja dengan baik dalam suksesi posisi yang ditemui selama karier.
Dalam hal ini merupakan persiapan karier jangka panjang seseorang. (Simamora, 1995:287). Sehingga cakupan pengembangan sumber daya manusia selanjutnya adalah terkait dengan sistem karier yang diterapkan oleh organisasi dan bagaimana sumber daya manusia yang ada dapat mengakses sistem yang ada dalam rangka mendukung harapan-harapan kerjanya (Simamora, 1995:323).

Lemahnya sumber daya manusia,dapat dikarenakan beberapa macam sebab, antara lain seperti budaya masyarakat, struktur masyarakat, atau rekayasa yang sengaja diterapkan pada masyarakat tertentu. Gejala yang tampil dari lemanya sumber daya manusia adalah :

1. lemahnya kemauan, merasa tidak mampu, tidak percaya diri, dan merasa rendah diri.
2. lemanya kemampuan, terbatasnya pengetauan,terbatasnya keterampilan,dan terbatasnyapengalaman.
3. terbatasnya kesempatan, kurang memenuhi kebutuhan yang diperlukan, sulit ditingkatkan, tidak mampu menggunakan kesempatan, dan peluang yang diberikan.
Sebenarnya ada beberapa langkah yang harus dilakukan demi tercapainya pengembangan sumber daya manusia.
Pertama : informasi-informasi yang luas, aktual, dan hangat agar dapat membuka ketertutupan pandangan dan wawasan, dan pada tahap selanjutnya akan menimbulkan gairah untuk melakukan sesuatu yang diperlukan (tumbuh kemauan dan keinginan berprestasi)
Kedua : motivasi dan arahan yang dapat menumbuhkan semangat untuk melaksanakan sesuatu atau beberapa tugas pekerjaan dengan adanya kepercayaan diri yang kuat, sehingga ada gairah untuk mewujudkan suatu tujuan (peningkatan produktivitas dan kemampuan diri)
Ketiga : metodologi dan system kerja yang dapat memberikan cara penyelesaian masalah dengan efektif dan efesien, secara terus-menerus (manusia potensial, actual, dan fungsional)

A. Teori Rasionalisme
Rasonalisme adalah suatu aliran filsafat yang muncul pada zaman modern, yang menekankan bahwa dunia luar adalah sesuatu yang riil. Rasionalisme memiliki suatu keyakinan bahwa sumber pengetahuan terletak pada rasio manusia melalui persentuhannya dengan dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. [2]
Rasio adalah subjek yang berfikir sekaligus objek pemikiran. Daripadanya keluar akal aktif, karena ia merupakan sesuatu yang pertama diciptakan. Akal manusia merupakan salah satu potensi jiwa, biasanya disebut dengan rational soul. Ia ada dua macam, yaitu : pertama praktis, ini bertugas mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua adalah teoritis, yakni khusus berkenaan dengan persepsi dan epistemologi, karena akal praktis inilah yang menerima persepsi-persepsi indrawi dan meringkas pengetahuan-pengetahuan universal dari padanya dengan bantuan akal aktif.
Dengan akal kita bisa menganalisa dan membuktikan, dengan akal pula kita mampu menyingkap realita-realita ilmiah, karena akal merupakan salah satu pengetahuan. Tidak semua pengetahuan diwahyukan, tetapi ada pula yang harus didedukasi oleh akal melalui eksprimen.
Rasionalisme menekankan bahwa kesempurnaan manusia tergantung pada kualitas rasionya, sedangkan kualitas rasio manusia tegantung kepada penyediaan kondisi yang memunkinkan berkembangnya rasio kearah yang memadai untuk mencerna berbagai permasalahan kehidupan menuju penyempurnaan dan kemajuan. [3]Pribadi-pribadi yang rasio adalah pribadi-pribadi yang mempunyai suatu keyakinan atas dasar kesimpulan yang berlandaskan pada analisis mendalam terhadap bebagai bukti yang dapat di percaya, sehingga terdapat hubungan yang rasional antara ide dengan kenyataan empiric. Untuk keperluan ini, ditemukan tata logic yang baik karena sangat berguna bagi pengembangan rasionalitas tersebut.
Mengingat pengembangan rasionalitas manusia sangat tergantung kepada pendayagunaan maksimal unsur ruhaniah individu yang sangat tergantung kepada proses psikologik yang lebih mendalam sebagai proses mental, maka yang lebih ditekankan oleh aliran rasionalisme ini dalam pengembangan sumber daya manusia tidak lain adalah dengan menggunakan pendekatan mental discipline, yaitu suatu pendekatan yang berupaya melatih pola dan sistematika berfikir seseorang atau sekelompok orang melalui tata logik yang tersistematisasi sedemikian rupa, sehingga ia mampu menghubungkan berbagai data atau fakta yang ada untuk menuju pengambilan atau kesimpulan yang baik pula. Proses semacam ini memerlukan penguta-penguatan melalui pendekatan individualistis yang mengacu pada intelektualisti. Dan untuk keperluan ini memerlukan adanya upaya penyadaran akan watak hakiki manusia yang rasional. [4]
Upaya penyadaran erat kaitannya dengan fungsionalisasi rasionalitas manusia yang menjadi pertanda dirinya, terarah sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat memecahkan berbagai problem kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, pendewasaan, intelektual melalui pembinaan berfikir reflektif-kritis-kretif yang akan menumbuhkan konsep diri untuk membentuk sikap dirinya dalam memandang persoalan-persoalan diberbagai realitas kehidupannya. Dengan adanya kemampuan berfikir reflektif ini akan memudahkan seseorang mengambil keputusan yang akan melahirkan kreatifitas dan inovasi dalam berbagai kajian yang ia sukai, di samping itu juga dapat mengembangkan imajinasinya. Sehingga dengan demikian menjadikan yang bersangkutan dapat mengelola ilmunya sebagai dasar bagi peningkatan dan pengembangannya pada hal-hal yang lebih tinggi. Dengan berfikir reflektif, dapat menjadikan subjeknya mampu memandang jauh ke depan menuju tatanan keilmuan yang lebih baik dan sempurna.
Upaya penyadaran akan fungsi manusi sebagai makhluk rasioanal ini merupakan tugas yang esensial bagu dunia pendidikan, karena memang eksistensinya bersentuhan langsung dengan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian, penumbuhkembangkan berfikir reflektif, kritis, kreatif ini menurut aliran rasionalisme merupakan kunci suksesnya suatu pendidikan. Jika pengembangan dan penyempurnaan rasionalitas akan dicapai melalui upaya pendidikan, maka diperlukan semacam ekosistem rasional yang akan mendukung terciptanya kemampuan berfikir rasional tersebut. Mengingat berfikir berkenaan dengan kebebasan mengeluarkan pendapat dan fikiran, maka aspek kebebasan aspek penting dalam mewujudkan manusia-manusia yang diinginkan.
Kebebasan adalah hak asasi manusia dan dengan kebebasan manusia memperoleh jalan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Kebabasan merupakan sesuatu yang diperlukan bagi terbentuknya manusia-manusia yang mandiri, sehingga ia pun mesti bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Oleh karena itu, aliran ini sangat menghargai asa demokrasi dalam pembentukan watak manusia.
Berdasarkan pemikiran ini, aliran rasioanalisme berpendapat bahwa tujuan pendidikan pendidikan adalah semacam pertumbuhan dan perkembangan subjek didik secara penuh berdasarkan bakal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang luas untuk kepentingan kehidupannya, sehingga ia pun dengan mudah dapat menyesuiakan diri dengan masyarakat dan lingkungan.
Sebenarnya memang benar jika segala sesuatu khususnya pengembangan sumber daya manusia itu tidak terlepas dari awalan rasio. Artinya, semua hal tidak akan bisa berjalan tanpa adanya proses akal yang aktif pada setiap jiwa diri seseorang. Akan tetapi, meskipun demikian penganut ini tidal boleh mempunyai sifat egoisme karena tanpa yang lain ia tidak akan bisa berdiri seutuhnya sebbagaimana yang diharapkan.

B. Teori Realisme
Pada hakikatnya kelahiran realisme sebagai suatu aliran dalam filsafat merupakan sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu sisi, dan empirisme John Lock disisi lainnya. Realisme ini kadanng kala disebut juga neo rasionalisme. John Lock memandang bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat metafisik[5] dan universal. Ia berkeyakinan bahwa sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman-pengalaman indrawi. John Lock menyangkal kebenaran akal, sedangkan menurut idealisme Immanue Kant, realisme termasuk salah satu aliran klasik yang selalu disandarkan pada nama besar Aristoteles yang memandang dunia dalam terma material. Segala sesuatu yang ada di hadapan kita adalah suatu yang riil dan terpisah dari pikiran manusia, namun ia dapat memunculkan pikiran dengan melalui upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui pendayaan fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural, sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu dapat digerakkan dari alam.
Dalam memandang kehidupan, realisme berpendapat bahwa kehidupan fisik, mental, moral, dan spiritual biasanya ditandai atau terlihat dalam alam natural. Dengan demikian terlihat realisme sesungguhnya lebih cendrung untuk mengatakan sesuatu itu sebagai sesuatu itu sendiri dari pada sesuatu itu sebagai apa mestinya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan sumber daya manusia aliran ini berangkat dari cara manusia memperoleh pengetahuan.
Menurut aliran realisme, sesuatu dikatakan benar jika memang riil dan secara substantive ada. Suatu teori dikatakan benar apabila adanya kesesuaian dengan harapan dapat diamati dan semuanya perfeck. Aliran ini menyakini bahwa adanya hubungan interaksi antara pikiran manusia dan alam semesta tidak akan mempengaruhi sifat dasar dunia. Objek-objek yang diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri, bukan hasil persepsi dan bukan pula hasil olahan akal manusia. Dunia tetap ada sebelum pikiran menyadari dan ia tetap akan ada setelah pikiran tidak menyadarinya. Jadi menurut realisme ada atau tidak adanya akal pikiran manusia, alam tetap riil dan nyata dalam hukum-hukumnya.
Bagi kelompok realisme, ide atau proposisi adalah benar ketika eksistensinya berhubungan dengan segi-segi dunia. Sebuah hipotesis tentang dunia tidak dapat dikatakan benar semata-mata karena ia koheren dengan pengetahuan. Jika pengetahuan baru itu berubungan dengan yang lama, maka hal itu hanyalah lantaran yang lama itu memang benar, yaitu desebabkan pengetahuan lama koresponden dengan apa yang terjadi dengan kasus itu.
Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang koresponden dengan dunia sebagaimana apa adanya. Dalam perjalanan waktu, ras manusia telah dikonfirmasi secara berulang-ulang, menanamkan pengetahuan tertentu kepada anak yang sedang tumbuh merupakan tugas yang paling penting.

Tinggalkan komentar